Militer.or.id – Airnav Indonesia, Pemandu Dirgantara Hingga ke Christmas Island.
Jakarta, Militer.or.id – Pesawat berbadan sedang itu dimundurkan agar bisa bergerak ke landasan pacu untuk tinggal landas, menuju kota yang terangkum dalam tiga huruf di “boarding pass”.
Tidak banyak yang tahu dari sekitar 150 penumpang di dalamnya bahwa pesawat tidak bisa mundur, tetapi dimundurkan oleh “pushback tractor”, yaitu kendaraan khusus yang tingginya tidak lebih dari moncong pesawat.
Untuk memundurkannya pun perlu menunggu instruksi, bukan pilot, tetapi petugas pengendali lalu lintas udara atau ATC dari atas menara yang pasti ditemui di setiap bandara. Tidak seperti moda transportasi lainnya, pilot tidak bisa bekerja sendiri dalam menentukan jalur lintasan pesawat, waktu penerbangan, kecepatan, ketinggian, jarak antarpesawat, waktu tinggal landas, dan mendarat.
Akan tetapi, semua itu harus berdasarkan persetujuan penyelenggara navigasi, yaitu Perum Lembaga Penyelenggara Navigasi Penerbangan Indonesia atau lebih dikenal dengan Airnav Indonesia. Bahkan, Direktur Mutu, Keselamatan, dan Keamanan Sriwijaya Air Toto Soebandoro dalam buku “Excellent Service of Airnav Indonesia” menyebut ATC sebagai “mata dan telinga” para pilot.
Keberadaaanya memang sangat vital. Ia mengatur lalu lintas pesawat dari mulai tinggal landas, mengatur jarak antarpesawat, ketinggian, hingga mendarat dengan aman dan selamat sampai tujuan.
Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 1 tentang Penerbangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2012 tentang Perum LPPNPI, pengelolaan navigasi penerbangan masih dipegang oleh PT Angkada Pura I untuk Makassar Air Traffic Services Center dan PT Angkasa Pura II untuk Jakarta Air Traffic Sercives Center.
Namun, hal itu justru bertentangan dengan “roh” penerbangan itu sendiri, yaitu keselamatan karena dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, kedua perusahaan tersebut diwajibkan mengantongi keuntungan dalam rangka meningkatkan nilai perusahaan.Sementara, dalam hal keselamatan tidak boleh adanya standar ganda, harus sama dan tanpa toleransi sedikit pun.
Hal itu ditambah wajah penerbangan Indonesia tengah tercoreng pada 2007 dengan diganjarnya penurunan tingkat keselamatan oleh otoritas penerbangan Amerika Serikat atau Federal Aviation Administration dari peringkat 1 ke peringkat 2 serta dilarangnya seluruh penerbangan nasional Indonesia ke Benua Eropa.
Belum lagi, Organisasi Penerbangan Sipil Internasional melalui Universal Safety Oversight Audit Program and Safety Performance menggelar audit dan menyatakan bahwa sistem navigasi penerbangan di Indonesia tidak memenuhi standar minimum keselamatan penerbangan internasional.
Akhirnya, dirancang payung hukum keberadaan lembaga yang fokus menangani pelayanan navigasi penerbangan, yaitu PM 77/2012 tentang LPPNPI dan per 16 Januari 2013 seluruh pengelolaan navigasi oleh AP I dan AP II diserahkan kepada Airnav Indonesia.
Tahun Kelima Memasuki tahun kelima, Airnav “menjaga angkasa” bukan hanya di ruang udara Negara Kesatuan Republik Indonesia, melainkan juga termasuk ke Christmas Island, wilayah teritori Australia.
Direktur Utama Airnav Indonesia Novie Riyanto mengatakan sudah hampir 80 persen pemenuhan target dalam rangka akselerasi pada 2018. “Akselerasi di 2018 itu sebagian besar sudah tercapai, harapannya semua tercapai hingga akhir tahun nanti,” katanya, dirilis Antara, 5-9-2018.
Novie menyebutkan program-program dalam akselerasi itu, di antaranya peningkatan kapasitas bandara terpadat di Indonesia, peningkatan navigasi penerbangan di Papua, sinergi pengembangan baru, dukungan pengembangan 10 destinasi pariwisata dan penyusunan kembali “flight information region” (FIR) Jakarta.
Dalam kaitannya dengan peningkatan kapasitas bandara terpadat di Indonesia, Novie mengatakan pihaknya telah memasang “instrument landing system” (ILS) di sejumlah bandara terpadat maupun bandara baru. Ditambah saat ini, sejumlah bandara telah dikerjasamakan pengelolaannya oleh PT Angkasa Pura I dan PT Angkasa Pura II.
“Kita tidak mengenal bandara itu kelola siapa yang penting kita siap untuk menambah kapasitas, kita sudah pasang ILS,” katanya. Kebutuhan modal Airnav tahun ini, Novie menyebutkan Rp2,3 triliun dan paling besar dialokasikan untuk JATSC menyusul dibangunnya “east cross taxi way”, landasan pacu ketiga dan terminal keempat di Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
Dengan adanya “east cross taxi way” atau jalur penghubung landasan pacu bagian utara dan selatan, pergerakan pesawat bisa bertambah dari 76 pergerakan pesawat per jam menjadi 81 pergerakan pesawat per jam.
“Jadi, sesuai rekomendasinya Direktorat Jenderal Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara, peningkatannya sampai 81,” katanya. Dengan demikian, ketepatan waktu penerbangan (on time performance) bisa diperbaiki dan membuka ruang bagi rute-rute baru. “Peningkatan pergerakan pesawat Semenster I sudah sembilan persen,” ujar Novie.
Peningkatan Kapasitas Untuk peningkatan kapasitas di Papua sendiri, Direktur Navigasi Penerbangan Kementerian Perhubungan Elfi Amir telah memerintahkan Airnav untuk memasang perangkat “Automatic Dependent Surveillance-Broadcast” (ADS-B) di tujuh titik, yaitu Wamena, Sentani, Oksibil, Dekai, Senggeh, Borme dan Elelim.
“Kami regulator meminta operator, dalam hal ini, Airnav untuk peningkatan semua fasilitas baik komunikasi, navigasi, maupun ‘surveillance’. Kita sudah buat ‘VFR Corridor’ di Papua ,” katanya. Selain itu, lanjut dia, membuat “performance base navigation” berbasis “global positioning system” (GPS). Rencananya, pada 2018 akan buat PBN di Makassar, Medan, Pontianak, Merauke, dan Palangkaraya.
Pengamat Penerbangan Alvin Lie mengatakan seiring dengan pertambahan pergerakan penumpang dan pesawat setiap tahunnya serta jumlah bandara dan rute-rute penerbangan, layanan navigasi juga makin dibutuhkan. “Tantangannya adalah mengembangkan kapasitas dan kualitas layanan navigasi kita,” katanya.
Untuk itu, menurut dia, investasi tidak bisa dihindari, baik dari segi alat pandu, maupun sumber daya manusia (SDM). “Agar perkembangan seimbang antara perkembangan teknologi serta tingkat pemahaman SDM-nya,” katanya.
Tantangan lainnya, menurut Alvin, banyaknya bandara “enclave civil”, yakni bandara militer yang juga dipergunakan untuk penerbangan sipil. “Butuh kerja sama yang baik, Airnav melayani sipil dan TNI untuk pertahanan, perlu penyesuaian dan kerja sama yang baik,” ujarnya.
Alvin menambahkan peningkatan kapasitas serta kualitas merupakan keharusan bagi Airnav Indonesia agar navigasi penerbangan Indonesia setidaknya bisa sejajar dengan negara-negara maju.