Militer.or.id – Presiden Jokowi Minta Pemerintah Myanmar Hentikan Kekerasan.
Jakarta – Presiden Indonesia, Joko Widodo meminta pemerintah Myanmar agar menghentikan aksi kekerasan terhadap warganya.
“Sore tadi Menlu sudah berangkat ke Myanmar untuk meminta pemerintah Myanmar agar menghentikan dan mencegah kekerasan agar memberikan perlindungan kepada semua warga termasuk Muslim di Myanmar dan agar memberikan akses bantuan kemanuasiaan,” ujar Presiden Joko Widodo, Minggu 3-9-2017 malam di Istana Merdeka, Jakarta.
Presiden menyampaikan pernyataan resmi didampingi oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto, Menteri Sekretariat Negara Pratikno dan Wakil Menteri Luar Negeri AM Fachir. Presiden juga menyampaikan penyesalannya terhadap aksi kekerasan yang terjadi di Myanmar sejak dua pekan lalu itu.
“Saya dan seluruh rakyat Indonesia, kita menyesalkan aksi kekerasan yang terjadi di Rakhine State Myanmar, perlu sebuah aksi nyata tidak hanya kecaman-kecaman,” tambah Presiden. Menlu Retno Marsudi nantinya juga akan bertemu dengan sejumlah tokoh internasional untuk mencari solusi Myanmar.
“Saya sudah menugaskan Menlu RI untuk menjalin komunikasi intensif dengan berbagai pihak termasuk dengan Sekjen PBB bapak Antonio Guterres dan Penasihat Khusus untuk Rakhine State bapak Kofi Annan,” kata Presiden.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dijadwalkan bertemu dengan Menlu merangkap Konselor Negara Republik Persatuan Myanmar Aung San Suu Kyi yang juga pemimpin Partai Liga Demokrasi Nasional, partai mayoritas parlemen Myanmar pada Senin 4-9-2017 di Myanmar.
Keduanya sudah pernah bertemu di Myanmar pada 6 Desember 2016 dan pada 19 Desember 2016. Ketiga pertemuan itu membahas agenda solusi atas tragedi kemanusiaan yang menimpa masyarakat etnis Muslim Rohingya yang tinggal di negara bagian Rakhine (atau biasa pula disebut Arakan).
Pada Jumat 25-8-2017, menurut pemerintah Myanmar, sekelompok orang Rohingya bersenjatakan pisau dan bom buatan, menyerang lebih dari 30 pos Polisi di Rakhine Utara hingga menewaskan 12 orang. Puluhan anggota kelompok itu dilaporkan tewas dalam bentrokan itu dan sesudahnya.
Bentrokan itu membuat ribuan warga sipil dari kedua komunitas tersebut terusir.
Dilaporkan bahwa sejumlah warga sipil juga meninggal dunia. Organisasi “Human Rights Watch” mengatakan data satelit menunjukkan kebakaran di setidaknya 10 wilayah.
Pemerintah Myanmar mengatakan bahwa sekelompok orang membakar ‘desa-desa kaum minoritas,’ sementara para gerilyawan mengaitkan kebakaran tersebut dengan pasukan keamanan dan warga mayoritas setempat.
Akibat kejadian itu, Jumlah warga Rohingya yang berusaha menyelamatkan diri ke Bangladesh terus meningkat.
Organisasi Internasional untuk Migrasi, IOM menyatakan hingga Rabu 30-8-2017, sekitar 18.500 orang Rohingya, kebanyakan perempuan dan anak-anak, melarikan diri ke Bangladesh. Tetapi pasukan Bangladesh disebut menghalangi para penduduk Rohingya itu menyeberang ke Bangladesh.
Aksi kekerasan terhadap etnis Rohingya di Myanmar meledak pada 2012 yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar.
Pemerintah Myanmar yang dikuasai junta militer kemudia membuat sensus penduduk mulai 30 Maret 2014 dan berlangsung selama 12 hari tetapi ternyata tidak mendata masyarakat etnis muslim Rohingya. Dalam sensus itu, dicantumkan kode nomor etnis yang resmi diakui pemerintah tanpa etnis Rohingya.
Penduduk Myanmar dalam sensus menyebutkan bahwa masyarakat beragama Islam berjumlah 2,3 persen dari total penduduk Myanmar dan tersebar di seluruh negara bagian. Tetapi mereka bukan berasal dari Muslim Rohingya sebab pemerintah Myanmar tidak mendata etnis Muslim Rohingya.
Pemerintah Myanmar sering berkilah bahwa penduduk Rohingya adalah imigran gelap dari Bangladesh dan mengingkari hak kewarganegaraan mereka, walaupun banyak etnis Rohingya yang mengatakan bahwa mereka sudah menetap di Myanmar selama beberapa generasi.
Mereka pun tinggal di salah satu negara bagian termiskin di Myanmar, dan gerakan dan akses mereka terhadap pekerjaan sangat dibatasi. Antara.