Militer.or.id – Dengan luas wilayah udara lebih dari lima juta kilometer persegi, Republik Indonesia memerlukan payung udara yang mumpuni untuk melindungi kedaulatan nasionalnya, seperti dilansir dari laman Antara News pada hari Minggu.
Salah satu pemangku kepentingan di tubuh militer Indonesia adalah Korps Artileri Pertahanan Udara (Arhanud) di TNI AD yang hari ini memperingati hari jadinya yang ke-72 di Pusat Pendidikan Artileri Pertahanan Udara TNI AD di Batu, Jawa Timur.
Sejauh ini, pengadaan paling akhir persenjataan modern untuk korps dengan warna baret coklat muda itu di antaranya baterai peluru kendali jarak pendek Starstreak dari Thales, Inggris, yang memakai dua pijakan, Mistral (Rheinmetal, MBDA), radar pengendali misi mobile CM-200 (Prancis) dan Mistral Coordination Post. Semuanya diadakan beberapa tahun sebelum 2018, pada fase kedua rencana strategis Kekuatan Esensial Minimum kedua (2014-2019).
Bersama dengan sistem man-portable air-defense systems (MANPADS) RBS-70 buatan SAAB, Swedia, yang diadakan pada awal dasawarsa 90-an, mereka masuk ke dalam kelas peluru kendali anti serangan udara alias rudal darat-ke-udara jarak pendek, dengan jangkauan dibawah 12 kilometer.
“Proyeksi ke depan, kami akan mengembangkan satuan artileri pertahanan udara di perbatasan dan cakupan-cakupan kekuatan akan masuk ke Indonesia timur. Peluru kendali jarak pendek sudah ada dan akan dilengkapi dengan peluru kendali jarak menengah”, kata Komandan Pusat Kesenjataan Artileri Pertahanan Udara TNI AD Brigjen Toto Nugroho.
“Kami sudah mengajukan spesifikasi teknis kepada satuan atas dan instansi terkait, dan sudah mulai melakukan kajian”, terangnya.
Dalam daftar arsenal peluru kendali kelas menengah dengandengan tempuh sekitar 100 kilometer, terdapat banyak pilihan, diantaranya ASTER 30 dari MBDA (Prancis), Medium Extended Air Defence System (MEADS) dari Amerika Serikat, Italia dan Jerman yang meliputi THAADS dari Boeing Co., AS, NASAMS 2 atau Norwegian Advanced Surface to Air Missile System yang berbasis rudal AIM-120 AMRAAM (Advanced Medium Range Air-to-Air Missile) dan kemudian itu dinamai sebagai SLAMRAAM (Surfaced Launched AMRAAM), termasuk juga sistem rudal S-300 dari Rusia.
Dia katakan bahwa sistem pertahanan titik mobile itu akan ditempatkan di kawasan pintu-pintu masuk Indonesia atau yang terkait dengan itu dan dalam operasinya mampu dapat beroperasi secara gabungan dengan korps lain di TNI AD ataupun matra TNI lainnya.
Pengadaan peluru kendali jarak menengah, menurut Brigjen Toto Nugroho sesuai dengan paradigma baru tentang hakekat dan pengertian ancaman nasional dari udara.
“Dulu, pengertiannya adalah pesawat udara, namun kini meliputi peluru kendali, mortir dan UAV. Semua itu berpotensi menjadi ancaman dan kita harus melakukan lompatan besar dengan cara menguasasi dan memiliki teknologi-teknologi terkait”, katanya.
Brigjen Toto Nugroho juga menekankan akan keperluan peluru kendali jarak pendek yang mampu bergerak bersama satuan mobile di lingkungan TNI AD, mulai dari batalion infantri dan infantri mekanis, kavaleri hingga zeni.
Hingga saat ini, arsenal yang mendukung misi itu adalah RBS-70 yang telah diremajakan kedua kali hingga mampu dioperasikan melewati batas paling maksimal dari usia pakainya, yaitu 30 tahun dan kini sudah dikembangkan generasi terbarunya, yakni RBS-70 NG.
Sistem peluru kendali buatan SAAB, Swedia, ini sangat kompak dan mobile, bahkan tiga personel dengan memakai kekuatan ototnya bisa memindahkan itu secara diam-diam ke puncak-puncak gedung tinggi.
“Kami juga sudah melakukan kajian, apakah yang berbasis kendaraan roda penggerak rantai sehingga mampu mengikuti pergerakan satuan manuver ataupun yang dioperasikan perorangan secara mandiri”, katanya.
Kami sangat menghargai pendapat anda. Bagaimanakah pendapat anda mengenai masalah ini? Tuliskanlah komentar anda di form komentar di bagian bawah halaman ini.