Angkatan Udara Amerika sedang menulis kembali rencana perangnya untuk Pasifik. Komandan baru cabang terbang untuk wilayah tersebut mengatakan kepada wartawan di Pentagon pada akhir November 2018 lalu.
Jendral Charles Brown, komandan Pasukan Udara Pasifik, mengatakan dia ingin kelompok-kelompok kecil pesawat tempur Amerika untuk bergerak cepat dari berbagai pangkalan guna menggagalkan musuh, terutama China mengganggu komunikasi Amerika.
“Bagaimana kita memindahkan paket-paket kecil dengan cepat untuk mempersulit musuh kita?” kata Brown sebagaimana dilansir Defense One dan dikutip War is Boring Senin 3 Desember 2018.
“Bagaimana juga cara beroperasi di lingkungan yang diperebutkan, karena saya tidak dapat menjamin bahwa [komunikasi] saya akan berjalan sepanjang waktu.”
Ide-ide yang disebutkan Brown sebenarnya bukan hal baru dan telah berkembang selama bertahun-tahun di kalangan intelektual Angkatan Udara, Angkatan Darat, dan Korps Marinir. Brown mengatakan dia bekerja untuk “mengoperasionalkan” strategi tersebut.
Ide bertumpu pada kekuatan terdistribusi dan komando independen yang dapat menunjukkan jalan menuju bentuk kekuatan udara Amerika yang lebih fleksibel dan tangguh serta kurang bergantung pada basis besar dan dapat membantu mengimbangi kekuatan militer China yang meluas.
Kekurangan jet tempur siluman F-22 kemudian mendorong pendekatan baru terhadap peperangan udara. Pada tahun 2013, Wing ke-3 Angkatan Udara Amerika yang berbasis di Alaska menemukan cara baru untuk menyebarkan 40 pesawat F-22 Raptor dengan cara paling efisien. Dari 180 F-22 yang dimiliki USAF hanya memiliki 120 yang memiliki kode tempur dan dilengkapi dengan perangkat lunak dan senjata terbaru.
Daripada selalu susah payah mengerahkan seluruh skuadron 20 pesawat atau bahkan seluruh 40 jet yang ada di Wing ke-3, maka dibuat paket dengan mengirim kuartet F-22 plus satu pesawat kargo C-17 pendukung yang praktis di mana saja di wilayah Pasifik yang memiliki lapangan terbang yang sesuai hanya dalam 24 jam. Cara ini diberi nama “Rapid Raptor”.
Tujuannya adalah selama masa perang mereka bisa dengan cepat menyebarkan F-22 di banyak pangkalan hingga lebih aman dibandingkan dikumpulkan dalam satu pangkalan besar yang bisa jadi sasaran serangan rudal China.
Segera enam skuadron F-22 mengadopsi konsep Rapid Raptor. Pada bulan April 2016, Skuadron Tempur 95 yang berbasis di Florida mengirim sepasang F-22 pada tur cepat ke Eropa Timur sebagai bagian dari rencana militer Amerika untuk menghalangi Rusia setelah invasi ke Ukraina.
Pada Maret 2017, C-17 juga mendukung dua F-22 dalam misi ke Australia. Di darat F-22 mengisi bahan bakar dari tangki sayap C-17.
Pejabat Angkatan Udara mengatakan mereka akan menyesuaikan konsep Rapid dengan tipe pesawat perang lainnya.
Helikopter penyelamat HH-60, pesawat tempur F-16 dan tanker KC-46 dilaporkan sedang dipertimbangkan untuk penyebaran cepat. Sementara itu, Angkatan Udara telah menjajaki opsi pangkalan baru di wilayah Pasifik untuk detasemen kecil ini.
Cabang terbang membangun kembali landasan tua di Tinian di Pasifik Selatan dan mulai memutar pesawat pengebom B-52 melalui pangkalan di Darwin di Australia utara.
Tetapi harus dipahami detasemen tempur secara luas dapat sangat bergantung pada komunikasi satelit untuk menerima tugas dan informasi target dari sejumlah kecil pusat operasi Angkatan Udara yang besar dan terpusat.
Jika China telah melakukan jamming atau menghancurkan satelit, detasemen Rapid dapat menemukan diri mereka beroperasi dalam isolasi. Untuk mengurangi risiko itu, Angkatan Udara ingin komandan detasemen beroperasi secara independen.
“Jadi, orang-orang jangan menunggu arahan, mereka cukup mendapatkan arahan awal dari saya sehingga mereka benar-benar bisa mengeksekusi?” kata Komandan Angkatan Udara Pasifik Brown bertanya.
Kami sangat menghargai pendapat anda. Bagaimanakah pendapat anda mengenai masalah ini? Tuliskanlah komentar anda di form komentar di bagian bawah halaman ini.