Militer.or.id – Tangan Dingin di Balik Kelahiran N-219 PT DI.
Terbang perdana N-219 pada 16 Agustus lalu menjadi penanda kebangkitan industri dirgantara nasional. Berikut orang-orang yang menghabiskan waktu berjam-jam di meja dan hanggar untuk melahirkan pesawat buatan PT Dirgantara Indonesia (DI) dan Lapan itu.
Saat ditunjuk menjadi chief engineer N-219 pada 2011, Palmana Banandhi harus bisa memenuhi harapan banyak orang. Indonesia sangat membutuhkan pesawat yang bisa menaklukkan pegunungan Papua dengan landasan-landasan pacu yang pendek dan berbatu sampai cuaca yang ganas tanpa ampun.
Putra asli Tegal itu memulainya dengan merayu para insinyur terbaik di lingkungan PT DI untuk bergabung pada programnya. Kini Palmana memimpin lebih dari 150 insinyur dalam berbagai divisi dan keahlian.
Dia harus mampu membuat pesawat yang ringan dengan daya angkut besar, bisa bermanuver dalam kecepatan dan ketinggian rendah, punya sistem navigasi dan komunikasi ter-update, serta masih mampu terbang dengan satu mesin mati.
”Kami tidak punya niat untuk bersaing dengan pabrikan pesawat yang sudah matang. Kami hanya membuat pesawat yang dibutuhkan Indonesia,” katanya kepada Jawa Pos Kamis (24/8).
Untung, PT DI punya tradisi panjang produksi pesawat terbang. Pengalaman membangun pesawat CN-235 dan N-250 merupakan modal yang bagus untuk memulai pembuatan N-219. Database dua pesawat tersebut diambil sebagai dasar kerja.
Menurut Palmana, N-219 merupakan pesawat terbesar di kelasnya. Panjangnya 16,74 meter; tinggi (6,18 meter); bentang sayap (19,50 meter); dan lebar badan (fuselage) 1,8 meter. Dengan muatan penuh, berat total N-219 mencapai 7 ton. Meski berukuran besar, ia tetap masuk kategori CASR 23. ”Lebih besar sedikit lagi, ia akan masuk kategori CASR 25,” jelasnya.
Bentuk sayap dibuat lebar dan lurus dengan posisi ditempel di atas fuselage. Bentuk seperti itu memungkinkan N-219 bermanuver lincah di ketinggian dan kecepatan rendah. Selain itu, sayap di atas memungkinkan luasnya ground clearance antara propeler dan permukaan tanah.
Palmana menyebutkan, ada berbagai opsi bentuk dan letak sayap. Namun, jika sayap diletakkan di bawah badan, otomatis roda pendaratan harus dibuat lebih tinggi untuk memperluas ground clearance dengan tanah. Konsekuensinya, setiap penumpang harus naik ke pesawat dengan tangga. ”Ini tidak efisien untuk operasi di bandara-bandara perintis yang minim ground service,” katanya.
Untuk tenaga, N-219 dilengkapi sepasang mesin Turboprop Pratt and Whitney PT6A-42 dengan daya dorong masing-masing 850 tenaga kuda. Mampu mendorong N-219 melaju 210 knots. Kecepatan jelajah terbaik di kelasnya.
Kedua mesin dihidupkan dengan baterai elektrik. Pada posisi diam di bandara, pilot cukup menekan tombol untuk menghidupkan mesin. Tidak dibutuhkan bantuan auxiliary power unit (APU) atau generator eksternal. ”Kalau mesin mati, bisa juga restart di udara,” ujarnya.
Namun, tidak ada yang lebih dibanggakan daripada kemampuan mendarat dan tinggal landas yang singkat. N-219 hanya membutuhkan 435 meter dalam kondisi penuh muatan dan 375 meter jika tanpa muatan. Untuk mendarat, hanya dibutuhkan 509 meter. Sepanjang 192 meter di antaranya digunakan untuk menggelinding di tanah.
Kemampuan itu dihasilkan berkat perhitungan aerodinamika yang teliti. N-219 juga sangat fleksibel untuk berbagai misi. Selain mengangkut 19 penumpang, kabin bisa diatur sebagai rumah sakit terbang, pengangkut tentara, dan bahkan kargo.
Dengan muatan penuh, N219 punya jangkauan jelajah 480 nautical mile . Kira-kira jarak Jakarta ke Palembang. ”Tapi, kalau muatan dikurangi, bisa meningkat sampai 828 nautical mile,” katanya.
Setelah pesawat sukses uji coba pada 16 Agustus lalu, kini Palmana dan puluhan insinyur di bawah pimpinannya harus kembali berbenah untuk mempersiapkan puluhan tes agar N-219 mampu memenuhi type certificate dan production certificate yang ditetapkan Direktorat Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKUPPU). ”Kami targetkan awal 2018 type certificate sudah rampung,” katanya.
Kuat dan Ringan
DESAIN boleh mantap dengan perhitungan aerodinamika yang sempurna. Namun, N-219 tetaplah hanya gambar tanpa olahan Nanang Iskandar dan tim dari divisi struktur. Adalah tugas pria kelahiran Tasikmalaya itu untuk mewujudkan N-219 yang tampak cantik di layar komputer, menjadi nyata.
Sehari-hari Nanang berkutat dengan layar komputer berisi gambar N-219 dalam bentuk grid dan garis-garis. ”Ini pesawat pertama kita yang desain sepenuhnya memakai komputer,” ujarnya sambil menunjuk layar komputer.
Nanang dan tim menggunakan teknologi computer aided design (CAD) untuk mengonstruksi struktur tubuh, sayap, dan ekor. Sebagai perbandingan, pabrikan Airbus baru menggunakan CAD pada seri A320. Boeing baru pada seri 777. Sedangkan perusahaan kapal Amerika Serikat baru menggunakan CAD untuk membangun kapal selam terbaru kelas Virginia.
Dengan CAD, tidak ada meja gambar, tidak ada pula coret-coret dan kertas yang berserakan. Insinyur tinggal melakukan input, mengubah, dan menghapus nilai serta variabel sesuai dengan keinginan. Metode ini menghemat waktu, uang, dan tenaga.
Perhitungannya juga lebih presisi. Tinggal dites di dunia nyata. Menurut Nanang, dulu produksi CN-235 masih memakai drawing board. Pada masa N-250, 50 persen desain sudah menggunakan komputer. ”Tapi, separonya lagi masih pakai gambar manual,” ungkapnya.
Segera setelah tim aerodinamika selesai dengan bentuk N-219, model ditransfer ke Nanang dan tim struktur. Ada yang bertugas menganalisis dan ada yang bertugas mendesain. Ukuran kabinnya demikian besar untuk pesawat turboprop bermesin ganda. Tantangan terbesar adalah mewujudkan susunan kerangka dan kulit yang serbaringan, tapi kuat.
Amanat dari desain cukup berat. Luas kabin meliputi lebar 1,58 meter dan tinggi 1,705 meter. Tambah dua bagasi berkapasitas 130 kg di depan dan 475 kg di belakang.
Namun, berat maksimum take off (maximum take off weight/MTOW) tidak boleh lebih dari 7 ton. Berat 2,3 ton untuk muatan dan 1,6 lainnya ton untuk bahan bakar. Artinya, mereka harus membuat keseluruhan berat pesawat, mulai bodi, mesin, roda pendaratan, sampai semua sistemnya, tidak boleh terlalu jauh melampaui 4 ton.
Untuk mencapai amanat tersebut, Nanang menganalisis, pesawat sekelas N-219 ditujukan untuk menemukan kunci kompromi antara kekuatan dan keringanan. ”Kita pakai dua pendekatan, komunaliti dan analitis. Ambil contoh dari pesawat lain yang sejenis, kemudian dianalisis,” jelasnya.
Untuk menyusun satu unit N-219, Nanang membutuhkan 10 ribu lembar aluminium. Disatukan dengan ribuan baut dan mur.
Herlambang dari divisi analisis struktur mengungkapkan bahwa N-219 akan menjalani serangkaian tes kekuatan struktur. Mulai tes tekanan (stress), kelelahan (fatigue), dan getaran (flutter). ”Ada dua, tes statis saat pesawat diam, dan tes dengan beban dinamis ketika terbang,” imbuh Herlambang.
Di atas kertas, N-219 diperkirakan mengalami fatigue setelah 30 ribu flight cycle dan akan bergetar keras (flutting) ketika memasuki kecepatan 340 km per jam. Badan N-219 bisa menahan benturan saat pendaratan keras hingga 6 kaki per detik ke bawah dan 9 kaki per detik tekanan ke depan. Saat tes penjatuhan (drop test), roda pendaratan N-219 bisa menahan benturan hingga 7 kaki per detik.
Photo : N-219 PT DI (Detik)
Sumber : Pen PT DI