Militer.or.id – Krasnopol vs Excalibur: Mana Yang Lebih Akurat?.
Militer.or.id – Kementerian Pertahanan Rusia yang baru-baru ini merilis video yang menunjukkan uji coba penembakan rudal yang dipandu laser “Krasnopol” hingga mendorong para ahli militer memperdebatkan manfaat dari sistem Rusia dibandingkan dengan artileri tempur yang dipandu GPS seperti “Excalibur”.
Pengamat militer Vadim Saranov mencoba membandingkan kedua sistem tersebut, seperti dilansir dari laman Ria Novosti.
Laser vs GPS
AS adalah negara pertama yang mengadopsi amunisi artileri yang dipandu ke dalam militernya dengan amunisi dipandu laser M712 155 mm yang diperkenalkan di tahun 1982. Uni Soviet segera mengikuti dengan artileri dipandu laser 2K25 Krasnopol 150 mm ayang diperkenalkan pada tahun 1986.
Kedua sistem memiliki karakteristik akurasi dan jangkauan termasuk prinsip penargetan yang serupa, namun jarak efektif Krasnopol buatan Soviet adalah 20 km, dibandingkan dengan Copperhead cuma 16 km. Kedua amunisi tersebut menampilkan sistem inersia sebagai koreksi amunisi ditengah penerbangan, sementara laser semi aktif di nyalakan selama pendekatan akhir menuju sasaran untuk meningkatkan akurasi.
Namun, seperti yang ditunjukkan oleh Saranov, pengalaman awal membuktikan bahwa prinsip amunisi artileri yang dipandu penuh dengan kekurangan.
“Amunisi hanya bisa mencapai target yang berada di garis pandang sang operator penargetan laser”, catatnya.
Selanjutnya, membawa sistem penargetan hingga ke garis depan bukanlah tugas yang mudah. Operator harus menyeret sistem kendali tembak otomatis bersamaan dengan target designator laser, range finder, konsol dan stasiun komunikasi radio komandan, seluruh komponen ini mencapai puluhan kilogram.
Sistem kendali tembak (FCS) otomatis Krasnopol Soviet, termasuk pula thermal imager, yang berat totalnya 42 kg, dan butuh tiga orang untuk membawa. Selanjutnya, waktu penyinaran target mencapai 10-13 detik, membuat tentara rentan untuk terlihat. Isu-isu ini mengangkat pertanyaan tentang survivabilitas sistem dalam pertempuran.
Namun demikian, Viktor Murakhovsky, pemimpin redaksi majalah militer Rusia, Arsenal of The Fatherland menekankan, meski amunisi dipandu laser punya keterbatasan tetapi mereka sangat akurat.
Terlebih lagi dengan perbaikan teknologi, laser rangefinder-designator tidak perlu lagi digotong, namun dapat dipasang pada titik pengintai mobile berbasis kendaraan lapis baja, helikopter atau bahkan pesawat terbang tanpa awak.
Bagaimanapun, mulai akhir 1990-an, pandangan Rusia dan AS terhadap amunisi artileri dipandu mulai bercabang. Produsen senjata asal Rusia terus meningkatkan Krasnopol, memperluas jangkauannya menjadi 25 km, sementara AS beralih pada navigasi satelit untuk penargetan.
Pada tahun 2006, Pentagon mengadopsi M982 Excalibur, proyektil yang dipandu GPS.
Penggunaan sistem tersebut di Irak terbukti memuaskan para jenderal AS, dengan 92% peluru yang ditembakkan mendarat dalam radius hanya 4 meter dari sasarannya pada jarak hingga 40 km.
Excalibur yang telah ditingkatkan mampu mencapai sasaran hingga jarak 57 km. Selain itu, navigasi satelit mampu memperbaiki sistem operasi artileri AS dalam kondisi cuaca yang buruk, dimana M712 Copperhead sebelumnya seringkali gagal diarahkan karena tertutup awan, kabut atau asap yang kuat.
Akan tetapi, seperti yang para ahli katakan, sistem GPS Amerika Serikat itu mempunyai kelemahan utama yang dapat mematahkan semua kelebihannya.
“Panduan satelit dari senjata presisi tinggi memungkinkan AS hanya bisa melaksanakan tugas-tugas yang telah ditentukan. Jika ada hambatan dalam bentuk sistem perang radio elektronika, Anda bisa melupakan satelit. Kalau begitu, hanya ada dua metode panduan yang dapat digunakan yaitu inersia atau iluminasi target”, menurut Alexei Levchenkov, direktur TeKnol, perusahaan sistem navigasi.
Kelemahan lain dengan amunisi yang dipandu GPS adalah kurangnya akurasi terhadap target yang bergerak. Sementara itu, Krasnopol telah membuktikan diri mampu untuk menyerang kendaraan lapis baja musuh yang bergerak dengan kecepatan hingga 36 km per jam.
Bagaimanapun, Saranov mencatat bahwa perusahaan Raytheon, si pencipta Excalibur, mulai menciptakan proyektil “Excalibur S” dengan kemampuan bimbingan laser tahun 2014.
Sementara itu, Biro Desain Instrumen Tula telah mengerjakan “Krasnopol-D”, dilengkapi dengan bimbingan satelit. “Hal-hal itu mengarah ke situasi dimana, dalam waktu dekat, Rusia dan Amerika Serikat akan memiliki seluruh jajaran amunisi untuk pertempuran melawan berbagai jenis target”, tulis Saranov.
Efisiensi Biaya
Kelemahan utama dari rangkaian artileri berpemandu adalah label harga mereka, yang mencegah mereka dipasang pada semua artileri. Biaya Excalibur dan Krasnopol kira-kira sama, masing-masing antara $ 50.000 – $ 70.000.
Alternatif yang lebih murah adalah menggunakan amunisi dengan “alat pintar”, sensor GPS dan kendali aerodinamis mini yang dipasang pada amunisi konvensional. Di tahun 2013, Pentagon mulai menerima Precision Guidance Kit M1156, yang dapat mengubah amunisi 155 mm milik Angkatan Darat AS menjadi senjata cerdas dengan harga kurang dari $ 10.000.
Namun akurasi menjadi korban, yaitu hanya bisa mencapai setengah akurasi Excalibur. Biro Kompass Construction yang berbasis di Moskow sudah mulai mengerjakan modul navigasi GLONASS yang dilengkapi sendiri untuk amunisi artileri.
“Ke depan, amunisi dengan peralatan semacam ini akan digunakan untuk menembak target yang tidak dapat diamati, sementara amunisi laser akan digunakan pada target yang berada dalam garis pandang”, menurut Murakhovsky.
Ia pun menyimpulkan bahwa dalam hal ini, penggunaan amunisi akan menurun secara signifikan. Berdasarkan norma saat ini, 600-900 amunisi di perkirakan akan digunakan untuk menghancurkan sebuah tank. Sementara itu, probabilitas Krasnopol mencapai 90-95%, dan tentu saja, tidak ada tank yang bisa menahan penetrasi proyektil 155 mm dari atas.