Militer.or.id – Ketegasan Asean Diperlukan Atasi Krisis Rohingya.
Jakarta – Kondisi di negara bagian Rakhine, Myanmar, kembali memanas selama beberapa hari terakhir, bahkan mengakibatkan korban tewas dan puluhan ribu penduduk mengungsi.
Situasi tersebut menyebabkan hampir 100 orang tewas dan sekitar 27.400 orang warga muslim Rohingya kabur ke Bangladesh untuk menghindarkan diri dari kekerasan di Myanmar.Selain itu, sekitar 20.000 lainnya terdampar di beberapa wilayah di sekitar perbatasan Bangladesh-Myanmar.
Pada Kamis 31-8-2017, penjaga perbatasan Bangladesh menemukan 20 jenazah perempuan dan anak-anak Rohingya, akibat perahu yang mereka tumpangi tenggelam, sewaktu berusaha melarikan diri dari kekejaman terburuk di Myanmar dalam 5 tahun belakangan.
Data satelit menunjukkan kebakaran setidaknya di 10 wilayah. Pemerintah mengatakan bahwa militan membakar desa-desa kaum minoritas, sementara para gerilyawan mengaitkan kebakaran tersebut dengan pasukan keamanan dan masyarakat setempat.
Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana mengatakan Pemerintah Indonesia perlu untuk mewacanakan bersama-sama dengan negara-negara ASEAN lainnya, melaksanakan embargo ekonomi terhadap pemerintah Myanmar untuk mengakhiri penderitaan etnis Rohingya.
Hal ini sebab akar masalah atas etnis Rohingya adalah tidak diakuinya etnis Rohingya sebagai warga Myanmar. Bahkan ada kecenderungan pemerintah Myanmar melaksanakan “ethnic cleansing” dan genosida terhadap etnis Rohingya sewaktu terjadinya konflik anta retnis atau konflik antar etnis Rohingya dengan otoritas Myanmar.
Penegakan hukum dan keamanan yang dilakukan oleh otoritas Myanmar sangat tidak proporsional dengan insiden yang terjadi. Hal itu berakibat banyaknya etnis Rohingya yang kehilangan nyawa dan banyaknya etnis Rohingya yang keluar dari Myanmar.
“Embargo ekonomi yang dilaksanakan oleh pemerintah negara-negara ASEAN diharapkan disokong oleh pemerintahan dunia dan mereka pun pada akhirnya melaksanakan hal yang sama,” kata Hikmahanto Juwana .
Embargo ekonomi akan berakhir sewaktu pemerintah Myanmar mengubah kebijakannya dari tidak mengakui menjadi mengakui etnis Rohingya sebagai warganya. Memang, ujar Hikmahanto Juwana , ide embargo ekonomi akan berbenturan dengan larangan untuk melaksanakan intervensi urusan dalam negeri negara ASEAN sebagaimana diatur dalam Piagam ASEAN, bahkan bertentangan dengan cara pembuatan keputusan yang didasarkan pada konsensus.
Tetapi embargo ekonomi perlu dilakukan karena ASEAN tidak boleh membiarkan terjadinya kejahatan internasional yang dilakukan oleh suatu pemerintahan di lingkungan ASEAN. Tindakan mengecam dan meminta untuk menghentikan kekerasan dipandang lagi tidaklah memadai. Bahkan memberi bantuan kemanusian hanya merupakan tindakan untuk “memadamkan kebakaran”.
“Tindakan tersebut tidak akan menyelesaikan secara tuntas apa yang dihadapi oleh etnis Rohingya,” ujar Hikmahanto. Terparah Wakil Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor Mahmud Syaltout menilai bahwa peristiwa Rohingya adalah tragedi kemanusiaan terparah di kawasan Asia Tenggara sekarang ini.
Kekerasan itu diduga dilaksanakan oleh tangan negara, baik aparat militer, keamanan, kepolisian, maupun pemerintahan Myanmar. Setidaknya, didasarkan pada laporan penginderaan satelit oleh UNOSAT maupun HRW, terdapatnya pola-pola (patterns) serangan terhadap desa-desa etnis Rohingya yang memang telah ditargetkan.
Gerakan Pemuda Ansor mengkaji dengan saksama, khususnya secara geopolitik, mengapa terjadi insiden serangan dengan menargetkan wilayah-wilayah yang dihuni etnis Rohingya pada tahun 2013, kemudian pada tahun 2016, dan makin menguat pada tahun 2017, dengan intensifikasi jumlah korban dan jenis kekejian yang dilakukan.
Mahmud Syaltout menilai tragedi kemanusiaan terhadap etnis Rohingya adalah konflik geopolitik, khususnya pertarungan kuasa dan kekuasaan (yang tak seimbang) di daerah Arakan-Rakhine, yang ditempati mayoritas etnis Rohingya, dengan dugaan kuat didasarkan pada perebutan secara paksa tanah dan sumber daya, khususnya minyak dan gas.
Blok-blok minyak dan gas di Semenanjung Rakhine dilaporkan mempunyai cadangan terbukti sebesar 7,836 triliun kaki kubik gas dan 1,379 miliar barel minyak. Beberapa blok di antaranya berproduksi sejak tahun 2013, ditawarkan tahun ini sebagai temuan baru, dan beberapa blok lainnya jatuh tempo kontraknya pada tahun 2017.
Blok-blok minyak dan gas di daratan Arakan, di mana North Petro-Chem Corp (China), Gold Petrol (Myanmar), Interra Resources (Singapura), Geopetrol (Prancis), Petronas Carigali (Malaysia), Petroleum Brunei (Brunei), IGE Ltd. (Inggris), EPI Holdings (Hongkong/China), Aye Myint Khaing (Mynmar), PTTEP (Thailand), MOECO (Jepang), Palang Sophon (Thailand), WIN Resources (Amerika Serikat), Bashneft (Russia), A1 Construction (Myanmar), Smart Technical Services (Myanmar), Myanmar Petroleum Resources (Myanmar), dan ONGC (India) beroperasi dan berproduksi.
Di daerah tersebut dilaporkan mempunyai cadangan terbukti sebesar 1,744 triliun kaki kubik gas dan 1,569 milyar barel minyak, yang beberapa blok di antaranya jatuh tempo kontraknya pada tahun 2017.
Mahmud Syaltout mengatakan konflik geopolitik yang sangat berdarah di daerah-daerah kaya sumber daya alam, khususnya minyak dan gas (Oil & Gas Blood) atau kutukan sumber daya (resource curse) bukan fenomena khas Myanmar, dan bukan hanya menimpa etnis Rohingya, tetapi juga terjadi di belahan bumi yang lain.
“Di mana untuk menutup operasi apropriasi kapital dan sumber daya secara menjijikkan operator-operator di lapangan membungkus dan atau menutupnya dengan konflik antar etnis, antar agama, antar kelompok masyarakat, dengan tujuan agar akar maupun persoalan sebenarnya menjadi kabur dan tersamar,” ujar Mahmud Syaltout.
Penyelesaian kasus Rohingya akan menjadi sukar, terlebih melihat banyaknya pihak, negara, dan korporasi yang berkepentingan terhadap penguasaan aset, kapital, maupun sumber daya di daerah-daerah tersebut.
Pemerintah Indonesia diminta lebih aktif bersuara dan cenderung memimpin aliansi mitra dialog dan diplomasi hak asasi manusia (human rights diplomacy) mengingat posisi Indonesia yang cenderung netral dari kepentingan geopolitik di wilayah tersebut.
“Indonesia secara tegas dalam konstitusi menghendaki agar penindasan di muka bumi harus dihapuskan. Atas dasar itulah, Indonesia harus memimpin aliansi mitra dialog untuk menghentikan kekerasan terhadap etnis Rohingya,” kata Wakil Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor Mahmud Syaltout. Antara 2-9-2017.